2012, 22 Juni
Pukul 01.30 pagi WIB
Aku akan bercerita tentang salah satu pengalaman hidupku. Pengalaman yang bermula dari keputusan nekatku pada bulan Juni 2011 silam, keputusan dan keyakinan akan sebuah pilihan, keputusan yang membawa perubahan besar dalam hidupku, keputusan yang mengawali hari-hari perjalanan hidup baruku di SMA. Akan kuceritakan kisah ini sebagai salah satu inspirasi bagi kalian tentang kekuatan sebuah tekad dan impian, keputusan untuk memilih sebuah jalan baru yang berbeda arus dengan orang kebanyakan, manisnya kebersamaan dan persahabatan, sekelumit cita dan harapan, serta sebuah arti penting dari kata “perjuangan”...
Inilah kisahku.
Asrama.....
Yah itulah tempat dimana aku berada. Setahun yang lalu tak pernah terpikirkan olehku untuk tinggal dan bersekolah di sebuah sekolah asrama. Setahun yang lalu... memoriku kembali melayang jauh ke masa wisuda dan perpisahan putih-biru. Teman-temanku bertanya “kemana kau akan melanjutkan sekolahmu?” dan aku menjawab mantap. Sekolah baru yang baru tahun ini akan menampung anak-anak didik pertamanya, sekolah yayasan Pasiad Indonesia yang bahkan mulai direncanakan pengurusan gedungnya pada April 2011 dan sudah siap menerima siswa dan melakukan aktivitas belajar mengajar pada 17 Juli 2011....
Keputusanku yang mendadak dan mengherankan itu memang membuat orang-orang bertanya, kenapa memilih sekolah itu? Tindakanmu terlalu berani. Sekolah itu kan baru, mana ada jaminan.. atau, nilai nemmu kan juga bagus di sini, kenapa tidak sekolah di sini. kenapa malah memilih sekolah swasta yang tidak jelas seperti itu?bukankah itu menyia-nyiakan nilaimu? Aku hanya tersenyum sambil menahan perasaan mendengar semua pertanyaan itu. Aku telah terbiasa mendengarnya. Sungguh, begitu banyak kalimat pertidaksetujuan dan kritik yang menhujaniku kala itu.
Waktu itu, satu atau dua bulan sebelum acara perpisahan SMP. Waktu itu adalah waktu paling membahagiakan dalam hidupku, mungkin juga bagi seluruh anak kelas 3 SMP di Indonesia. Sesaat setelah hari UNAS yang terakhir, momen bahwa adanya kebebasan yang menyambut kita..setelah 3 tahun belajar di sekolah menengah pertama, setelah selama ini rajin berkutat dengan les dan ujian, yang kami rasakan adalah.. akhirnya kebebasan.. kemerdekaan dan berpasrah untuk selanjutnya......
Ada suatu kelegaan sendiri saat melewati ujian terakhir. Seolah telah melewati rintangan terakhir dari rintangan-rintangan yang telah kami lalui dengan segenap tenaga dan pikiran, segenap doa dan usaha, akhirnya.... Tentu saja kelegaan kami belum lengkap karena kami harus menunggu pengumuman hasil usaha hidup-mati kami ini agar benar-benar merasa bebass....
Setelah ujian, kami (aku dan teman-teman seagkatanku-red) dikumpulkan di halaman sekolah. Kami bersyukur telah melewati serangkaian ujian sengan kesehatan dan berdoa agar diberikan hasil yang terbaik. Setelah apel itu, aku sudah berjalan berombongan bersama teman-teman baikku yang sedang asyik merencanakan habis ini mau pergi kemana, merayakan selesainya UNAS dengan makan makan kecil bersama di warung pop icean dekat sekolah kami-khas anak SMP, makan enggak makan, yang penting kumpul!- Benar, bagi kami, yang penting adalah kebersamaannya.
Muka-muka kami riang sekali menapaki koridor-koridor kecil sekolah. Menyapa seluruh penghuni sekolah dengan senyum tersungging manis sekalii..membuat yang disapa membalas dengan tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Kami tertawa dan bercanda. Rasanya senang sekali hari itu...
“Chusna, ini ada surat untuk kamu dan Thomas” ujar Pak Kisno, guru olahragaku.
Aku menerimanya dengan sedikit heran. Aku memang jarang mendapat kiriman surat, apalagi yang lewat sekolah. Kubuka surat itu perlahan, mungkin ada hubungannya dengan olimpiade karena Thomas juga dapat. Aku dan Thomas dulu pernah mengikuti lomba olimpiade, walaupun cuma jadi finalis, kami dulu sangat bersyukur bisa diberi kesempatan mengikuti ajang itu sampai ke tanah Medan,, tempat disenggelarakannya olimpiade nasional IX setahun yang lalu.
Isinya sebuah surat dan selembar brosur. Tulisannya, surat ini ditujukan kepada Orangtua/wali dari Chusna Amalia.. berarti untuk orangtuaku, surat itu kulipat lagi dan kumasukkan ke tas untuk nanti setelah pulang sekolah kuberikan kepada orangtuaku.
Saat kumpul-kumpul bersama teman-teman, kami ngobrol asyik sekali. Kami membicarakan bagaimana ujiannya tadi, bagaimana ketatnya para pengawas, bagaimana pensil temanku patah berkali-kali karena ia terlalu bersemangat menghitamkan bulatan-bulatan di lembar jawab, bagaimana parahnya pilek temanku yang membuatnya berkali-kali menarik tisu tiap kali bersin agar bersinnya tidak mengenai lembar jawab, bagaimana lucunya kumis pak pengawas yang bertugas di kelas temanku, dan sebagainya.
Kami juga membicarakan tentang ingin lanjut kemana—sebuah pertanyaan yang belakangan ini kerap kali menjadi topik pembicaraan kami. Mayoritas temanku akan menyebutkan Sma favorit di daerah kami. Beberapa menyebutkan akan melanjutkan ke Jogja jika nemnya bagus. Aku sangat tertarik jika ada yang bilang begitu. Biasanya aku langsung bertanya-tanya ria ingin lanjut ke sma jogja yang mana, apa saja sekolah yang sekarang jadi favorit di jogja, terus mau kos apa tinggal di rumah saudara, kapan pendaftarannya dan sebagainya. Dari awal aku memang udah ngebet pengen banget melanjutkan belajar ke Jogja, setidaknya jangan di Wonosari lagi, begitulah targetku. Bukan karena aku tidak suka di Wonosari, bagiku Wonosari adalah kampung halaman yang berharga bagiku. Kota Wonosari, kota kecil yang membesarkanku.
Tapi aku ingat targetku tadi, SMA pokoknya harus bikin perubahan. Jangan mau terus-terusan jadi yang itu-itu aja. Kamu juga harus punya pengalaman, harus coba sesuatu yang baru, berlatihlah untuk mandiri, cobalah beradaptasi untuk lingkungan yang baru, dan bawa mimpimu chus!!! Suara-suara dibenakku terus memacuku untuk maju dan bikin perubahan, makin memperkuat keinginanku untuk menimba ilmu di tempat baru. Slogan-slogan “lain daerah lain budayanya”, “jangan pernah merasa cukup akan apa yang kamu pelajari, di dunia ini masih banyak ilmu yang harus dicari” dan “tuntutlah ilmu sampai ke negri cina” membawa motivasiku untuk belajar di luar daerah masa kecilku mencapai puncaknya.
Aku ingin sekolah di Jogja. Tidak di Wonosari. Tidak di sini lagi. MOVE ON! Aku harus membuat perubahan. Ya, PERUBAHAN!
Harapan itu lalu kandas saat ayahku memberi tahuku akan pertimbangan beliau.
“Lebih baik kamu sekolah disini saja”.
Hatiku mencelos... tak biasanya ayahku berpendapat begitu. Justru selama ini ayahku lah yang selalu menyemangatiku untuk move on, sekolah di sekolah akademi di Magelang atau paling tidak di Jogja.
"Tapi Yah..."
"Tapi Yah..."
Komentar