Langsung ke konten utama

Kalau kau merelakan sesuatu karena Allah, Allah akan mengembalikannya padamu, bahkan menambahnya.

Hai

Cilacap 26 Desember 2015


sumber gambar : jagatfantasi.wordpress.com/2014/01/18/kupu-kupu/

Kalau kau melakukan sesuatu yang berdasar tanpa-Nya kau akan melihat dirimu menemui kesulitan melakoninya. Sama seperti kakak tingkatku yang merancang acara himpunan yang pada kondisi lapangannya memang tak bisa mulus dari niat awal, lillahi ta’ala. Pasti ada pikiran lain, seperti ini untuk himpunan dan lain sebagainya. Ia bilang kesulitan yang datang tampak lebih seperti azab daripada seperti ujian.

Berbeda dengan saat dia menyetujui menjadi mentor agama dikala hectic tugas menghadang. Hectic presentasi TA bahkan. Ia yang biasanya browsing untuk proposal berjam-jam, benar-benar dimudahkan. Yang biasanya berpuluh-puluh paper hanya dapat 1-2 kalimat kini satu paper aja sudah dapat semuanya. Ia baru menyelesaikan slide jam 09.10 dimana seharusnya ia presentasi jam 09.00 namun presentasinya benar-benar lancar dan ia dapat menjawab semua pertanyaan dari penguji, penguji pun kaget karena hanya ia proposal yang selesai sementara mahasiswa yang lain banyak yang belum, padahal memiliki waktu yang lebih banyak dari kakak tingkatku, izin lebih banyak, tapi proposal ga kelar-kelar juga, tak peduli betapa banyak waktu yang mereka punya. Astagfirullah, semoga kita termasuk orang-orang yang diberikan banyak kemudahan.

Kalau kau merelakan sesuatu karena Allah, Allah akan mengembalikannya padamu, bahkan menambahnya.

Sama seperti kakak tingkatku yang berniat mentraktir padahal ia tidak punya uang. Ia kira honornya  hanya cukup untuk sekedar mentraktir beberapa orang, ternyata di luar ekspektasi, dia mendapat hampir 4x lipat dari honor biasanya! Subhanallah Allah telah menggandakannya.

Sama seperti cerita yang kualami. Hanya saja aku bukanlah tokoh utamanya, namun menjadi figuran di cerita ini. Cerita ini berawal dari kurang lebih satu tahun yang lalu. Saat aku masih tinggal di Asrama (Dershane) Pelangi, di Tubagus Ismail.

Hari itu, ada kunjungan siswa asrama beserta abla ke dershane. Aku bertemu abla yang sangat cantik dan anggun dengan kerudung coklat mocca yang dikenakannya. Aku memujinya dan kudung yang ia kenakan. Dia tampak tersanjung dan berkata “Sayang, kalau saja ini bukan hijab pertama yang saya miliki yang saya dapat dari ibu saya, tentunya saya sudah memberikan hijab ini kepada kamu” aku pun segera mengatakan kalau gapapa, itu tidak masalah, karena saya memuji abla karena memang ablanya tampak bagus dengan kerudung itu.

Setahun berlalu, dan aku tinggal di rumah di Jalan Jalak bersama abla yang sama, yang kini menjadi imam di rumahku. Imam itu ibaratnya ketua asrama. Beberapa hari yang lalu ablanya meletakkan kerudung yang dulu ia kenakan di hari pertama kami bertemu di kamarku. Aku membawanya kembali ke kamar abla, namun abla bilang bahwa itu punyaku. Aku bilang aku ga mau. Aku tahu, itu kerudung yang berarti baginya. Aku ga bisa menerimanya begitu saja.

Abla adalah pribadi yang tegas, dan ia tetap bersikeras agar aku menyimpan kerudung itu. Akhirnya selama beberapa hari aku menyimpannya di lemari, tidak ku kenakan. Hari kemarin adalah ulangtahun abla. Hari itu aku ngobrol berdua dengan abla di meja makan dengan menyantap mie. Kami bercerita banyak hal hingga aku teringat kembali kerudung itu. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengembalikan, pikirku. Jadi kuambil kerudung itu dari lemariku dan kuselipkan jam tangan mungil untuk hadiah abla. Kukatakan pada abla bahwa jam tangan itu tidak baru, itu milikku namun tak pernah kukenakan karena kurasa terlalu formal untukku, namun terasa pas dan manis jika abla yang memakainya.

Abla begitu terharu dan memelukku. Ia begitu senang memakai jam itu yang sesuai dugaanku memang terlihat cantik di tangan abla. Namun ia benar-benar menolak permintaanku untuk mengembalikan kerudung miliknya. Dia meyakinkanku bahwa dia melakukan itu untuk menghilangkan nafsunya pada dunia. 

Aku tertegun mendengar alasan beliau. Aku tahu benar kerudung itu berarti baginya. Di negaranya, sedikit sekali yang memakai kerudung karena aturan disana. Banyak sekali godaan yang ia dapat saat akan memutuskan memakai kerudung. Suatu hari ia bilang pada ibundanya bahwa ia ingin pergi ke suatu tempat (lupa namanya, namanya susah, anggap saja seperti Pasar Baru, tempat di pinggir laut dimana di jual beraneka kerudung dan baju baju panjang atau pardesu. hehe) ibundanya bertanya, “Untuk apa,?” Malu-malu ia menjawab “Saya ingin membeli kerudung.” Kedua adiknya tak yakin mendengar dengan apa yang diucapkan kakaknya namun ibundanya begitu bersyukur bahagia mendengar pernyataan putrinya. Akhirnya abla dan ibunya pergi ke sana dan membeli sehelai kerudung untuk abla. Kerudung coklat yang sama yang kini tengah  kuserahkan padanya.


Aku benar-benar merasa kecil mendengar alasan abla. Aku seakan diingatkan, betapa masih besarnya rasa sukaku kepada dunia. Aku berkata pada abla, bahwa “abla, abla sudah menghilangkan nafsu abla dengan memberikan kerudung itu pada saya, namun saya memang ingin abla memilikinya lagi. Abla sudah berhasil, dan kerudung ini kembali pada abla..”

Aku terkesima melihat ablaku menangis setelah kukatakan itu padanya. Aku benar-benar terharu akan apa yang aku lihat. Abla  memelukku. Aku belajar hari itu. Entah apa yang menggerakkan jiwaku melakukannya. Semuanya seolah sudah diatur, jauh sebelum hari itu, saat kami pertama bertemu. Hari itu aku melihat suatu pembuktian. Benar janji-Nya, bahwa  Kalau kau merelakan sesuatu karena Allah, Allah akan mengembalikannya padamu, bahkan menambahnya.






Chusna Amalia.

Komentar