Sabtu.
Kopi
kuhabiskan. Detik ini, seharusnya aku sudah mulai mengerjakan laporan untuk
hari senin, namun jariku gelisah ingin menuliskan sesuatu hingga niat itu kuurungkan.
Baru saja,
sejam yang lalu, seseorang menangis di sampingku.
Seseorang
yang selama ini kukenal sebagai orang yang keras kepala, orang yang tak segan
menjawab kata-kataku.
Bahwa selama
ini ia terbebani. Ia merasa tidak didengar, tidak dipedulikan, tidak
diperhatikan.
Dia
bercerita padaku, bahwa selama ini ia ingin orang lain juga mengerti
keadaannya, bahwa tiap malam ia seorang diri yang harus memastikan segala
sesuatu disaat orang-orang tertidur lelap di atas kasurnya.
Dia
bersabar. Bahkan dengan latar belakangnya sebagai orang dari suku yang terkenal
berwatak keras, dia telah bersabar. Dia bisa mengeluh tapi ia memilih untuk
tidak melakukannya. Hal yang tak terbesit padaku. Yang kulihat hanya dirinya
yang keras kepala, yang selalu punya pendirian kuat, yang jujur saja pernah
membuat hatiku kecewa akan wataknya kepadaku. Namun yang kulihat hanyalah
kekecewaanku dan kekecewaanku. Tanpa aku pernah melihat dari sisinya.
Aku
mendengarnya bercerita, dan itu cerita yang tidak asing buatku. Orang yang sebelumnya
mengatakan hal yang serupa. Bercerita padaku bahwa setiap pagi orang tersebut harus memastikan
segalanya, tanpa orang-orang menghargai usahanya, tanpa peduli bahwa ia lelah
melakukannya. Keduanya sama-sama mengambil kewajiban di waktu yang berbeda,
sama-sama terfokus hanya pada kewajibannya masing-masing. Merasa lebih lelah
dari yang lain. Merasa bahwa yang lain tak memiliki perasaan lelah dan putus
asa yang ia miliki.
Mengapa hal-hal sederhana bisa terangkai dengan indahnya dalam suatu untaian yang sempurna?
Tersendat-sendat
aku berkata padanya. Dalam hati. aku mensyukuri keputusanku untuk hadir di pertemuan tadi siang, meski aku tidak ada keperluan untuk datang, sesuatu seakan membimbingku
mendatangi pertemuan itu.
Dan aku
berkata padanya... kata-kata yang sama yang diberikan kepadaku oleh Allah lewat
perantara seorang sahabat tadi siang. Aku yakin Allah juga ingin mengatakan hal yang sama untuk gadis
yang sedang menangis di sampingku ini lewat perantara lisanku.
“Sahabat,
akan selalu ada ujian saat kita berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Akan
ada perasaan tak ada yang memperdulikanmu, membantumu, atau memperhatikanmu.
Semua seolah kau lakukan seorang diri. Namun dengarlah, saat tidak ada manusia
yang memperhatikanmu, Allah memperhatikanmu. Melihatmu. Menjagamu.
Memperhatikan apakah hambanya mampu melewati ujian kecil dariNya.. Tersenyum
melihat pengorbananmu. Berbesar hati lah. Berbesar hati lah, sahabat. Niatkan
semuanya untuk sedekah dan ibadah hanya kepada Allah. Maka, tidak ada yang
perlu kau khawatirkan di dunia ini.”
Jalak, 18 Maret 2017.
Komentar