Langsung ke konten utama

Cangkir Teh dan Langit Senopati

Jakarta, 2022

Aku meletakkan cangkir tehku di atas meja kayu. Merasakan semua perasaan yang muncul dalam diriku. Hujan berderai mengenai daun-daun di luar sana. Aku memandang jendela yang menampakkan siluet langit kelabu. 

Aku tau semenjak aku memutus komunikasiku, kedamaian datang padaku. Namun aku sadar masih belum plong. Tapi aku tidak bisa mendefinisikannya dengan kata-kata. Angin. Dia seperti angin. Menyejukkan namun bisa menggelisahkan seperti badai hari ini. Angin. Sifatnya yang berubah-ubah, sesuka hatinya. Membuatku gelisah tak tenang. Karena aku tak bisa percaya pada angin. 

I woke up one day and realize that it would never work because I was never sure of this person, as he never sure of me.

Aku bercengkrama.

"Kenapa kamu marah, Chusna?"

Aku ragu.

"Jangan dipikir. Hatimu udah tau jawabannya. Katakan aja apa yang ada dihatimu"

"Aku marah karena merasa ditipu. Kata-katanya yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan setelahnya. Apa yang kulihat dulu ternyata bukan dia yang sebenarnya. Aku marah karena kecewa. Sebenar-benarnya kecewa. Aku marah karena merasa bodoh berharap bisa percaya. Aku marah karena aku merasa tidak dihargai. Aku marah karena merasa muak dan lelah"

Aku rasakan semua amarah itu meluap dalam tubuhku, mengalun keluar lewat kalimatku.

"Apa yang membuatmu belum lega?"

Aku memejamkan mata. Apa ya?

"Jangan berpikir Chusna, katakan apa yang kamu rasakan sekarang. Spontan"

"Aku merasa aku jahat padanya. Memutus komunikasi dengan seseorang, seperti itu"

"Kenapa kamu merasa itu jahat?"

"Karena aku takut aku melukai perasaan seseorang. Memutus komunikasi tanpa menjelaskan. "

"Kenapa kamu memutus komunikasi tanpa menjelaskan?"

"Karena dia bertanya padahal dia tahu jawabnya. Dia juga pasti sepenuhnya sadar apa yang dia lakukan membuatku kecewa. Daripada aku mengatakan hal-hal yang menyakiti hatinya, lebih baik aku tidak bicara sama sekali. Selain itu, dia pasti mengerti rasa kecewa dan lelah yang kurasa karena dia melakukan hal yang persis sama pada orang lain sebelumnya."

"Apa kamu yakin dia merasa tersakiti?"

"Entahlah, dulu dia bilang dia akan tersakiti jika aku mengatakan hal buruk padanya. Dia juga selama ini banyak disakiti."

"Lantas, gimana dengan perasaan kamu sendiri? Kamu ga tersakiti? Sakit juga kan?"

"Iya, sakit" aku menjawab spontan. 

"Ngga ada yang lebih bertanggung jawab dalam merawat perasaan kamu sendiri, selain kamu. Perasaan dia? Itu tanggung jawab dia. Bukan tanggung jawab kamu. Jangan kebalik. Jangan karena kamu sudah punya emotional bonding yang kuat dengannya, lalu kamu merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan dia dari rasa sakit. Kamu sadar ga sih kalau dia aja menghadirkan rasa sakit buat kamu. Dan ga cuma sekali. Dengan berbuat kaya gitu kamu yakin dia peduli sama kamu?"

"Iya. Jadi gapapa ya aku mutus komunikasi? Jahat ga sih?"

"Kamu ga ingin keliatan jahat sama sekali kah di depan orang lain?"

"Bukannya emang harusnya kita  jadi orang baik?"

"Kamu udah ngerasa baik ke dirimu sendiri kah?"

"Belum" lagi-lagi aku jawab. Tanpa mikir. Kali ini aku mau lebih banyak merasa daripada berpikir.

Lebih banyak merasa daripada berpikir, ya.

"Kamu harus tau kapan itu ga baik-baik aja buat kamu. Bukan tugas siapapun kecuali diri kamu sendiri untuk baik ke dirimu sendiri. Bersyukurlah kamu bertemu dan belajar dari orang lain. Perihal dia merasa bersalah atau tidak, belajar atau tidak itu urusan dia. Terserah dia. Bukan ranahmu. Bukan tugasmu. Bukan tanggung jawabmu. Bukan kuasamu."

"Kadang suka mikir tapi, Ya Allah kenapa aku sudah berikan yang terbaik tapi hasilnya ga sesuai ya?"

"Karena dunia itu ga selamanya 10+10 = 20, Chusna"

Aku menganyam perlahan kalimat itu di kepalaku. Melihat menerawang ke arah langit mendung. Aku teringat kalimat itu. 

"Dunia..bukan 10+10 = 20..."

"Iya.. ga  semua hal bisa kita prediksi. Ada banyak hal-hal yang meleset dari ilmu pengetahuan kita dan penalaran. Kadang kita mikir, kita udah berikan 10, lalu kita berdoa: Ya Allah, ini aku udah berikan 10, aku mohon balasannya 10 juga ya. 

Lalu saat balasan yang kita dapat bukan 10, kita kecewa. Padahal saat kita berusaha, berikhtiar yaudah lepasin aja. Ya Allah ini aku berusaha 10. Dah. Gitu aja.. Percaya aja sama Sang Pemberi Rahmat. Bisa jadi yang mau Allah kasih itu bukan 10, tapi 50 atau 100 buat kamu. Kita ga pernah tahu."


Komentar