Rasanya bagai tergulung hangat dalam selimut, saat hujan di Sabtu pagi. Tau di dunia ini ada yang menjagamu. Berdoa untukmu. Mencarimu.
Dan kau pun akan melakukan hal yang sama, karena bagimu tidak ada yang lebih tulus dari langit sore di Kota Bandung. Karena angin dinginnya memeluk semua rekaman sudut kota yang kau putar dalam ingatanmu.
Kau pernah disana. Berdiri di depan patung macan. Kala subuh. Hanya untuk menikmati Bandung untukmu sendiri. Milikmu.
Kau tegup semua embun pagi kerinduanmu. Merasa payah, lalu tinggalkan semuanya di sudut jalan. Lampumu ada disana. Kau tengok berkali-kali tapi kau memutuskan tak akan mengambilnya lagi. Karena kau tak menginginkannya lagi, katamu.
Ini sudah pagi, katamu. Aku tidak butuh lampu. Lalu kau berjalan dan berjalan. Meresapi sinar matahari yang menyinari ujung-ujung jarimu. "Aku mau mentari" katamu.
Kau cari tangga menuju mentari. Kau yakin ada. Dimana? Seluruh badanmu menolak untuk menyerah. Kau adalah pejuang. Kau akan dapatkan mentari. Kau begitu keras kepala. Anak kecil juga tahu tidak ada tangga menuju mentari. Kau bahkan tidak tahu akan terbakar jika mengambil mentari.
Hari mulai gelap, kau berjalan lagi dan menemukan lampumu. Masih lampu kesayanganmu yang sama. Kau ambil ia, kau ketuk agar dia menyala kembali. Tapi lampumu sudah tidak seperti yang kau ingat. Dia berubah jadi bara api.
Sementara kau cuma punya tangan kosong untuk membawanya.
Dan kau bilang pada lampumu "Aku tidak bisa membawamu" dan kau hanya berdiri di sebelah lampumu.
Terus begitu, hingga suatu hari kau sadar lampu itu mulai padam.
Dan kau bertanya mengapa lampumu padam.
Padahal kau sendiri yang tak kunjung mencari cara untuk membawanya.
Bandung 29 June 2022
Komentar