Langsung ke konten utama

Apple (Final Episode)


Aku melihatnya.
Sudah berapa lama aku tidak bicara padanya? Ah rasanya benar benar sudah lama. Saking lamanya aku seolah hidup di dunia yang berbeda darinya. Entah bagaimana kabarnya? Jarang sekali aku melihatnya memposting di sosial media. Melihat tampilannya dia terlihat..baik? Berapa lama tak pernah terlintas di benakku untuk menghubunginya..namun sekarang melihatnya, dia tampak begitu nyata, begitu familier keberadannya, berdiri dan berbincang di sana.


Bertahun berlalu dari hari dimana aku terakhir bertemu dengannya. Setelah hari itu, hubungan kami dapat dikatakan baik sebagai teman, kami sesekali saling bertukar komentar di sosial media, dan satu kali telepon ramai2.

Aku sudah tak seperti dulu. Tak lagi berpikir ribuan kali saat  mengambil risiko. Misalnya risiko saat mengatakan sesuatu padanya. Dulu aku sangat hati hati dalam berkata. Namun sekarang Aku hanya mengatakan apa yang ingin kukatakan dan melihat apakah kata2ku dapat merubah sesuatu. Ku tak lagi berpikir bahwa itu dapat membuat suatu akibat yang buruk padaku. Yang kupikirkan adalah, terkadang aku akan lebih hidup jika cerita cintaku naik turun dibandingkan cerita cinta yang ku biarkan datar begitu saja.

Menunggu. Ini kali pertama aku akan bertatapan langsung lagi dengannya. Astaga, saat telepon aku samasekali tidak grogi padanya tapi sekarang? Oh Tuhan, rasanya tanganku dingin dan mati rasa.

Apa aku masih berharap padanya?
Bukankah sudah kukatakan bahwa lebih baik aku tak berharap padanya. Aku mengharapkan dicintai sepenuh hati oleh seseorang. Menjadi satu-satunya kekasih yang dicintai seseorang dalam hidupnya.  Mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang tak ia bagi ke wanita lain, selain ibunya, ibuku, aku, dan saudarinya. Sementara pada kenyataannya aku jatuh cinta pada orang yang tidak menempatkanku pada prioritasnya, melupakan janji2 kecilnya padaku, tidak tampak tertarik untuk berbincang apalagi menghujaniku dengan perhatian-perhatian kecil yang manis. Berkali kali aku menemukan bahwa baginya aku bukanlah orang yang spesial untuknya.


Jari-jariku kuselang selingkan satu sama lain. Berkali2. Jantungku berdegup, entah apa yang terjadi pada metabolisme tubuhku saat itu. Rasanya wajahku memerah panas dan kepalaku mulai pusing.

"Apple.." kataku pada diri sendiri. "Tak ada beban pikiran, tak ada perasaan yang kau tangguhkan. Kau baik-baik saja dan setelah ini kau akan santai dan biasa saja padanya sebagai teman".

Kenyataannya kenapa aku begini adalah karena semua pria yang mendekatiku begitu berbeda dengan dia. Dia itu..bersahaja. Tidak hobi tebar pesona seperti kebanyakan pria. Aku percaya padanya. Bahkan disaat aku tak melihat dia pun, di jarak ratusan atau mungkin ribuan kilometer, aku percaya bahwa apa yang akan ia pilih adalah hal yang baik.

Namun, saat itu terngiang nasihat ibuku. Tak boleh anak muda memberikan seluruh hatinya pada pria yang belum mengucapkan akad atas nama Allah. "Cukuplah untukmu Allah dan jangan kamu berharap kepada manusia lain." Lalu nasihat beliau yang lain "Janganlah membodohi diri sendiri.." "Tidak bisa dalam sebuah keluarga, hanya satu orang yang berjuang. Jika dia tidak pernah memperjuangkan, maka kau harus siap lelah sendirian." 

1250
Mei

Dan kata-kata itu menaruh sesak di dadaku. Hari itu aku melepasnya. Hilang begitu saja dari hatiku. Aku mengaminkan kata-kata ibuku. Aku berhenti percaya bahwa suatu hari nanti akan ada waktu untuk kami. Aku percaya bahwa jika kita mengikhlaskan sesuatu karena Allah, Allah akan mendatangkan penggantinya yang lebih baik.


Komentar