Berikut adalah tulisan yang saya bagikan untuk diambil hikmah dan pembelajaran,jika sekiranya ada, sebagai pengingat untuk kawan dan terutama sebagai pengingat untuk diri saya sendiri
Pusaran Keegoisan : EGO, BOSKU ATAU BUDAKKU?
Pusaran Keegoisan : EGO, BOSKU ATAU BUDAKKU?
Betapa selama ini saya merasa
selalu penuh dengan ego: Rumah kotor, bukan aku yang piket, bukan tugasku. Aku
kan jauh rumahnya, beda arah dengan dia. Aku
sibuk, dia kayanya ga sibuk-sibuk amat, dia ajalah yang compil. Aku bisa
enak-enak tidur, masa harus anter dia ke tempat yang jauh pagi-pagi? Kemarin
dia gak kerja, masa harus aku yang kerjain tugas dia? Dan lain sebagainya.
Sebelum melakukan hal itu tentu
terbesit rasa kebimbangan di hati. Manakah yang akan kita pilih? Jalan yang
kita pikir baik namun bisa jadi berlebihan dan merugikan kita, atau jalan yang kita
pikir menguntungkan kita namun bisa jadi jahat?
Hal itu sering terbesit dan
karena saya adalah pemikir obyektif yang secara sadar mempertimbangkan benefit and
cost, saya lebih cenderung jatuh pada pilihan kedua dengan lebih memilih
menelan sisi rasa atau “feeling” tidak enak yang saya dapatkan saat mengambil
pilihan kedua.
Tentu saya lakukan itu dengan
berharap-harap cemas si teman atau orang tersebut tidak menjudge saya
macam-macam dan berkata its okay.
Tapi nyatanya saya tidak tenang
dan saya yakin betul ada sesuatu yang salah dengan pilihan saya.
Ya, selama ini saya lebih memilih
memenangkan ego saya sendiri.
Apa yang bisa saya lakukan?
Terapi yang saya lakukan adalah
memilih apa yang berlawanan dari pilihan saya. Ketika saya merasa suatu pilihan
adalah menguntungkan orang lain namun merugikan (diri saya) saya akan berhenti
mempertimbangkan lebih jauh dan melakukannya.
Ya, ini mungkin hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang menguji hati kita. Hari itu saya menawarkan
teman untuk datang ke rumah saya sekaligus bareng dengan saya ke kampus (naik
motor). Namun dia menolak. Dia adalah orang yang tidak suka merepotkan orang
lain. Saya berusaha menjelaskan bahwa akan mudah jika ia ikut dengan
saya, karena dua orang teman saya lainnya akan berboncengan membawa motor untuk berangkat ke kampus. Dia
menenangkan saya dan berkata bahwa tidak apa-apa karena dia akan naik angkutan
umum. Tentu saja saya bisa langsung pulang dengan alasan saya sudah menawarinya
namun ia menolak. Namun di jalan pulang saya berpikir, tidak mungkin dua orang
teman saya tega membiarkan ia naik angkutan
umum sendirian, namun pasti akan sangat susah bagi mereka untuk bonceng tiga.
Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke rumah dimana tiga orang teman saya saat
mau berangkat ke kampus, untuk menjemput satu teman saya tadi. Baiklah,
secara materi saya memang mengeluarkan usaha dan waktu sedikit lebih banyak
dari seharusnya, namun manfaat yang saya dapatkan saya yakin jauh lebih banyak.
Tentu akan sulit bagi saya
menggambarkan disini manfaat yang saya dapatkan, maka izinkan saya mencoba
menjelaskan dari perasaan yang saya rasakan. Perasaan lega akan pilihan yang
benar, perasaan bahagia karena memudahkan urusan orang lain, sekaligus perasaan
diri saya yang bangga dan percaya pada diri saya sendiri. Ya, percaya pada diri
saya sendiri. Percayalah, bahwa pikiran kita akan menilai diri kita sendiri,
secara tidak sadar. Sama seperti saat kita menilai orang lain. Dengan berbuat kebaikan, saya akan mempercayai diri
sendiri bahwa saya orang baik. Saya percaya pada diri saya sendiri, saya bukan
termasuk orang yang diperbudak oleh ego, melainkan orang yang dapat menguasai
egonya sendiri. Saya melihat nilai diri saya sendiri bertambah dengan satu
kebaikan.
Pikiran demikian akan memosisikan
diri seseorang sebagai sosok yang seperti apa di kehidupannya. Seperti cerita
suatu anak yang selalu dipanggil “anak pemberani” oleh orangtuanya. Pikiran
anak tersebut akan memosisikan dirinya sebagai sosok yang berani; sehingga dia
melihat dirinya benar-benar menjadi anak yang pemberani dan begitu pula orang
lain akan melihatnya. (chs)
Sebuah rangkaian kata-kata yang
saya kutip dari sebuah buku yang saya kagumi, Kriteria atau Cahaya di Jalan
Kebenaran
Manusia, harus menjadikan dirinya sendiri sebagai timbangan dalam semua
perilaku baik maupun buruk terhadap orang lain, dan ia harus menginginkan
supaya hal tersebut dapat juga dimiliki orang lain. Ia juga tidak boleh
melupakan bahwasanya segala sesuatu yang tidak disukai oleh dirinya juga tidak
disukai oleh orang lain. Dengan demikian, selain dia akan terselamatkan dari
perbuatan yang salah, ia juga akan terselamatkan dari menyakiti hati orang
lain.
Amanah keegoisan adalah sebuah hadiah suci yang dikaruniakan kepada manusia, agar ia dapat mencari dan menemukan sebuah hakikat besar. Seseorang yang tidak dapat mengalahkan dan mengiris-iris egonya sendiri, tidak memiliki sahabat sejati, tidak juga kedamaian di hati.
Sosok yang naik ke akhlak Ilahi dan sempurna karena meraih kedamaian hati, adalah mereka yang ketika melakukan kebaikan-kebaikan besar, ia menganggap kebaikan itu sepele, dan menghargai kebaikan yang kecil dari orang lain sebagai sebuah kebaikan besar. Mereka yang demikian, tidak akan sombong dengan kebaikan-kebaikannya, tidak pula mengeluhkan ketidakpedulian terhadap dirinya.
Chusna Amalia
Komentar