Langsung ke konten utama

Pusaran Keegoisan

Berikut adalah tulisan yang saya bagikan untuk diambil hikmah dan pembelajaran,jika sekiranya ada, sebagai pengingat untuk kawan dan terutama sebagai pengingat untuk diri saya sendiri

Pusaran Keegoisan : EGO, BOSKU ATAU BUDAKKU?


Hasil gambar untuk you, people watercolor

Betapa selama ini saya merasa selalu penuh dengan ego: Rumah kotor, bukan aku yang piket, bukan tugasku. Aku kan jauh rumahnya, beda arah dengan dia. Aku sibuk, dia kayanya ga sibuk-sibuk amat, dia ajalah yang compil. Aku bisa enak-enak tidur, masa harus anter dia ke tempat yang jauh pagi-pagi? Kemarin dia gak kerja, masa harus aku yang kerjain tugas dia? Dan lain sebagainya.

Sebelum melakukan hal itu tentu terbesit rasa kebimbangan di hati. Manakah yang akan kita pilih? Jalan yang kita pikir baik namun bisa jadi berlebihan dan merugikan kita, atau jalan yang kita pikir menguntungkan kita namun bisa jadi jahat?

Hal itu sering terbesit dan karena saya adalah pemikir obyektif yang secara sadar mempertimbangkan benefit and cost, saya lebih cenderung jatuh pada pilihan kedua dengan lebih memilih menelan sisi rasa atau “feeling” tidak enak yang saya dapatkan saat mengambil pilihan kedua.

Tentu saya lakukan itu dengan berharap-harap cemas si teman atau orang tersebut tidak menjudge saya macam-macam dan berkata its okay.
Tapi nyatanya saya tidak tenang dan saya yakin betul ada sesuatu yang salah dengan pilihan saya.
Ya, selama ini saya lebih memilih memenangkan ego saya sendiri.
Apa yang bisa saya lakukan?

Terapi yang saya lakukan adalah memilih apa yang berlawanan dari pilihan saya. Ketika saya merasa suatu pilihan adalah menguntungkan orang lain namun merugikan (diri saya) saya akan berhenti mempertimbangkan lebih jauh dan melakukannya.

Ya, ini mungkin hanyalah satu dari sekian banyak kejadian yang menguji hati kita. Hari itu saya menawarkan teman untuk datang ke rumah saya sekaligus bareng dengan saya ke kampus (naik motor). Namun dia menolak. Dia adalah orang yang tidak suka merepotkan orang lain. Saya berusaha menjelaskan bahwa akan mudah jika ia ikut dengan saya, karena dua orang teman saya lainnya akan berboncengan membawa motor untuk berangkat ke kampus. Dia menenangkan saya dan berkata bahwa tidak apa-apa karena dia akan naik angkutan umum. Tentu saja saya bisa langsung pulang dengan alasan saya sudah menawarinya namun ia menolak. Namun di jalan pulang saya berpikir, tidak mungkin dua orang teman saya  tega membiarkan ia naik angkutan umum sendirian, namun pasti akan sangat susah bagi mereka untuk bonceng tiga. Akhirnya saya putuskan untuk kembali ke rumah dimana tiga orang teman saya saat mau berangkat ke kampus, untuk menjemput satu teman saya tadi. Baiklah, secara materi saya memang mengeluarkan usaha dan waktu sedikit lebih banyak dari seharusnya, namun manfaat yang saya dapatkan saya yakin jauh lebih banyak.

Tentu akan sulit bagi saya menggambarkan disini manfaat yang saya dapatkan, maka izinkan saya mencoba menjelaskan dari perasaan yang saya rasakan. Perasaan lega akan pilihan yang benar, perasaan bahagia karena memudahkan urusan orang lain, sekaligus perasaan diri saya yang bangga dan percaya pada diri saya sendiri. Ya, percaya pada diri saya sendiri. Percayalah, bahwa pikiran kita akan menilai diri kita sendiri, secara tidak sadar. Sama seperti saat kita menilai orang lain. Dengan berbuat kebaikan, saya akan mempercayai diri sendiri bahwa saya orang baik. Saya percaya pada diri saya sendiri, saya bukan termasuk orang yang diperbudak oleh ego, melainkan orang yang dapat menguasai egonya sendiri. Saya melihat nilai diri saya sendiri bertambah dengan satu kebaikan.

Pikiran demikian akan memosisikan diri seseorang sebagai sosok yang seperti apa di kehidupannya. Seperti cerita suatu anak yang selalu dipanggil “anak pemberani” oleh orangtuanya. Pikiran anak tersebut akan memosisikan dirinya sebagai sosok yang berani; sehingga dia melihat dirinya benar-benar menjadi anak yang pemberani dan begitu pula orang lain akan melihatnya. (chs)


Sebuah rangkaian kata-kata yang saya kutip dari sebuah buku yang saya kagumi, Kriteria atau Cahaya di Jalan Kebenaran

Manusia, harus menjadikan dirinya sendiri sebagai timbangan dalam semua perilaku baik maupun buruk terhadap orang lain, dan ia harus menginginkan supaya hal tersebut dapat juga dimiliki orang lain. Ia juga tidak boleh melupakan bahwasanya segala sesuatu yang tidak disukai oleh dirinya juga tidak disukai oleh orang lain. Dengan demikian, selain dia akan terselamatkan dari perbuatan yang salah, ia juga akan terselamatkan dari menyakiti hati orang lain.

Amanah keegoisan adalah sebuah hadiah suci yang dikaruniakan kepada manusia, agar ia dapat mencari dan menemukan sebuah hakikat besar. Seseorang yang tidak dapat mengalahkan dan mengiris-iris egonya sendiri, tidak memiliki sahabat sejati, tidak juga kedamaian di hati.

Sosok yang naik ke akhlak Ilahi dan sempurna karena meraih kedamaian hati, adalah mereka yang ketika melakukan kebaikan-kebaikan besar, ia menganggap kebaikan itu sepele, dan menghargai kebaikan yang kecil dari orang lain sebagai sebuah kebaikan besar. Mereka yang demikian, tidak akan sombong dengan kebaikan-kebaikannya, tidak pula mengeluhkan ketidakpedulian terhadap dirinya.





Chusna Amalia

Komentar