4 September 2014. ITB. Salman.
Bismillahirahmanirrahim.
Semoga bisa menjadi bahan renungan yang bermanfaat.
..
Sore. Pulang kampus. Seorang yang baru dikenal. Kakak
angkatan. Kenalan dari sahabatku. Serius dan terkesan bersikap tak peduli. Namun entah
kenapa kami bertiga mengobrol. Entah kenapa kami semua sampai di topik itu. Beliau
berbagi cerita.
Menohok secara tidak
langsung keimanan kami berdua.
“Seorang wanita yang baik, menurut kriteriaku, haruslah
menjaga kata-katanya, tak banyak bicaranya, dan santun tata wiraga lagi
busananya”
“Bukan yang pakai celana jeans, ketat,”
“yang bajunya sempurna menutup aurat. Bukan yang lengan bajunya digulung sampai aurat.”
“yang kudungnya ngga tipis kayak gini”
“yang islami”
“Seorang calon ibu yang baik.”
..
Lihat diri ini. Masih
jauh dari predikat wanita yang baik. Selama ini aku selalu berasumsi bahwa diri
ini lebih baik daripada saudara-saudaraku di luar sana yang masih belum memakai
hijab. menganggap naifnya perempuan yang memakai jilbab namun dengan sengaja
membiarkan poninya tersibak keluar dengan alasan, agar terlihat imut.
Akhwat-akhwat yang dengan pedenya memakai baju ketat lagi nrawang, lalu
berbincang mesra dengan kekasih kekasih mereka, bergandeng tangan. Bertanya. Bagaimana
dengan hati mereka? Lalu apa yang mereka hijabi sebenarya, rambut mereka?kepala
mereka? Bagaimana mereka kelak akan menjawabnya? Bagaimana pendapat ikhwan tentang
mereka saat melihat mereka? Menggelikan? itulah yang kurasa, sebelum aku
menyadari bahwa beberapa orang disana yang ternyata jauh lebih baik dari diri yang kurang ilmu ini, menganggapku menggelikan.
Bagaimana tidak? Aku bekerja keras memikirkan cara
mencapai prestasi akademisku, memutar tiap sel otakku mendapat beasiswa dan piala,
memburu nilai yang tinggi, yang terkadang terlampau dan mengesampingkan
AKHIRATku. Bagaimana aku bisa egois begitu tanpa rasa syukur memohon pada-Nya
sesuatu yang demi mendapatkannya pun aku harus jauh dari-Nya? Bagaimanalah
Allah akan mengabulkan doaku? Aku tahu, hijabku belumlah sempurna, meski pun
aku sudah berkerudung, aku belumlah menjadi anak alim. Kudungku masih tipis dan
pendek, dan belum sempurna menutupi seperti syar’i.
-Aku berusaha membaca Al-Quran dan terjemah, diluar sana BANYAK yang
HAFAL SEMUA JUZ dalam AL-QURAN
-Aku berusaha sholat dhuha dan
tahajud, di luar sana jangankan TAHAJUD,
bahkan seteLah tahajud BERROKAAT ROKAAT mereka kerjakan, lalu TILAWAH, HAJAT,
RAWATIB,dan PUASA.
-Aku berusaha menjaga lidah dan ucapanku,dari hal-hal buruk dan janji
palsu, di luar sana BANYAK YANG TAK HENTI BERTASBIH mengingat Tuhannya seolah
mereka mati esok hari, tak hanya menjaga lidah dari keburukan namun MENGHIASNYA
DENGAN DZIKIR DAN DOA.
-Sekarang almatsurat pun jarang-jarang kubaca, jarang2
dan hampir tak pernah lagi membaca cevsen
-Sudah berapa surat yang kau hafal? Dan berapa lagu yang kau hafal?
Bisakah kau bandingkan?
- Lihatlah, bahkan si FULAN yang tak makan selama 2 hari
dan hanya punya sebungkus nasi, rela memberikan untuk ibu ibu tua yang lebih
membutuhkan, membiarkan perutnya kosong, menanti makanan-makanan surga kelak
mengisi perutnya yang kini mulai perih.
Mengapa aku terlampau egois demi mempertahankan diriku
sendiri? Padahal aku di tempat yang cukup. kenapa mereka yang kurang cukup dibandingkan
denganku justru menjadi teladan iman yang baik? Berbagi lebih banyak? Tawakal
lebih banyak? Bersabar lebih banyak?
“Dalam urusan agama,
lihatlah ke atas.” Sungguh BELUM ADA YANG SPESIAL dalam diriku. Belum ada.
Aku belumlah pantas mendapat gelar “Muslimah sejati” Masih jauh dari semua itu.
Walau jauh, tapi berniatlah kearah itu. Perubahan terkadang memang berat. Perubahan memang tidak bisa instan. InsyaAllah, proses akan membimbingmu.
Proses akan mengajarimu. Proses akan mengubahmu menjadi jiwa yang lebih baik.
Aamiin. Aamiin Yaa Robbal’alamiin.
Di samping itu, nyatanya tiap waktu aku berharap pada-Nya agar dipertemukan
dengan muslim sejati. Muslim yang selalu menjaga hati dan agamanya. Muslim yang
mampu membawa nahkoda aqidah yang sempurna bersamaku hingga berlabuh
kepada-Nya. namun bagaimanalah aku dapat bertemu jika aku sendiri tak segera
beranjak untuk memperbaiki diri? Dengan iman sejengkal dan pengetahuan agama
yang hanya selapis permukaan, bagaimanalah mungkin aku dapat ditemukan olehnya?
Wallahu’alam. Mari saling mengingatkan.
Mari memperbaiki diri.
Komentar