Kau tak kan lelah memandangnya.
Seperti malam ini. Kuhabiskan malam dengan hanyut memandang
bintang-bintang. Pelan-pelan kulompati tembok kecil pembatas di sebelah
kamarku. Hup. Sempurna aku menapakkan
kaki di atap rumah. Kunaiki genteng rumah milik pemilik kos, perlahan dan
hati-hati. Apa aku takut jatuh? Tidak,
aku sangat suka berada di tempat tinggi. Sejak kecil, panjat memanjat, akulah
manianya. Meski memanen luka jatuh waktu kecill, aku tak pernah membenci
ketinggian. Meski sudah terbiasa menaikinya seperti puluhan malam sebelumnya,
aku tetap harus hati-hati agar tidak membuat suara. Takut-takut kalau tiba-tiba
ibu pemilik kos terbangun dan melemparku dengan sendal-menyuruhku turun.
Kuenyakkan tubuhku tepat di puncak jejeran genteng, duduk santai.
Angin sejuk berhembus pelan menerpa wajahku. Kuhirup udara dalam-dalam. Nah! batinku. Inilah tempat yang paling pas untuk menghabiskan weekend. Tempat
ini selalu jadi favoritku, menghela napas mengusir pikiran-pikiran lelah dan
jenuh di hati. Apalagi hari ini hari Sabtu, jadi para penghuni kos sedang
pergi. Entah janjian dengan teman atau pulang ke kampung halaman.Tinggal aku,
Rana dan Mbak Dewi. Rana takut memanjat dan Mbak Dewi lebih memilih menonton
film sambil bergelung dalam selimut. Tempat
ini sempurna jadi milikku sendiri.
Kutatap guratan-guratan bintang yang membentuk pola tanpa
garis penghubung. Bintang-bintang itu berkelip di balik beludru hitam langit
malam. Bulan sabit menggantung indah memesona mata siapapun yang menatapnya. Di
sebelahnya kejora malam tampak paling terang memancarkan sinarnya. Di utara
sana empat bintang biduk mengerlip malu-malu dalam formasi yang serasi. Kututup
kedua kelopak mataku. Menghubungkan pola-pola indah itu dalam benakku. Aku
sudah jemu mendengar bermacam komentar
yang diberikaan padaku sepanjang minggu
ini. Jengah melihat realita yang selalu mmemenangkan pihak yang salah.
Lelah menerima segunung tugas dan ujian yang tak pernah bisa kuprotes. Aku sudah bosan diomeli. Peduli apa. Aku ingin
sendiri. Telingaku bebal menerima kritik dan komentar yang datang silih
berganti. Harus ini harus itu. Harus selesaikan ini selesaikan itu. Lihatlah,
sekarang kuuapkan semuanya. Lihatlah, di tempat inilah ketrentaman dapat
mengusir gelisah dalam relung hatiku. Lihatlah, disinilah tempat aku mengadu kepada Pemilik Langit.
Menatap ribuan bintang yang seolah tampak tak jemu menatap
balik padaku. Tanpa iri. Tanpa cemburu. Detik itu, di tengah keramaian dan huru-hara
anak-anak muda yang pergi menghabiskan waktu akhir pekan mereka, hanya hamparan bintang yang berkelap-kelip itu
lah satu-satunya yang ingin aku tatap. Namun bintang-bintang tak mungkin hanya menatapku-kan? Pasti mereka juga menatap
jutaan bahkan milyaran orang di luar sana. Menatap balik ribuan mata yang
menatap ke arah mereka. Di atas sana, ribuan kilometer cahaya jauhnya, mereka
milik semua orang. Mereka sengaja diletakkan
jauh di atas sana agar bisa dimiliki semua orang. Allah Maha Adil. Bila
dekat, api dan cahaya itu tak lebih dan tak kurang hanya akan menyakitimu.
Membakar dan membutakan kedua matamu dengan pancaran sinar yang selalu kau
kagumi. Dengan melihatnya dari jauh, kau bisa melihatnya berkerlip bersama
bintang-bintang lainnya menatapmu. Memberimu kesempatan memilihnya di antara ribuan
bintang yang lain. Meyakinkanmu bahwa dialah bintang yang paling berkilau. Sederhana.
Written by Chusna Amalia.
30 April 2014
Komentar