Perbincangan mengenai
fakultas, kini mulai terdengar dimana-mana. Ya di kelas, kantin, musholla, asrama,
dinning hall, kamar mandi, bahkan topik ini masih jadi trending topic sebelum tidur sembari kami nepuk-nepukin bantal. YA. Dilema memilih fakultas mulai menjangkiti
kehidupan kami, kelas 12. Pertanyaan yang belakangan ini mengiang di telinga
kami ya apalagi kalau ngga ini :
Mau kuliaah dimana ntar?
Dimana ya. Em,
yang jauh enak juga kayaknya.. Em, jangan jauh2 juga, ntar susah. Tapi.. eh....mending...
tapi.....uugg.... GATAU GAJELAAAS~~~
Gyaaaaaaaa. Meski
udah mulai kupikirin dan mulai nentuin dari kelas sebelas kemarin tetep aja kehidupan
perkuliahan itu masih ngawang. Mengambang di awang-awang.
Mau ambil jurusan apa?
Oh itu. Oh..
Itusih kalau aku
bakal milih.....
Bakal
milih dari 2 atau 3 pilihan ini.......... .___.
(Berdasarkan hasil
psikotest, yang juga kuakui kebenarannya):
Hasil
Psikotest Chusna Amalia :
Jeng-jeng!
Saya dkk pun konsultasi dengan konselor saya. (Baca
artikel-....Do it because you want to, because it makes you.....-). Mendapatkan kesimpulan bahwa potensi dan passion
itu penting. . Jurusan yang disukai sama jurusan yang kamu bisa itu ga sama. Ga mesti sama. Selama ini yang saya sering
dengar adalah lebih baik kuliahlah sesuai jurusan yang kamu suka. Bener sih Saya
juga ga mau ntar masuk fakultas ke yang ga bener-bener saya suka, ntar jadinya
malah berhenti di tengah jalan lagi, hiii
Tapi kami masih belum
puas, gabisa segampang itu. Saya dan teman-teman saya pun tanya ke konselor
kami. Cuma kami tanyanya lebih spesifik sama konselor kami. Kira-kira kayak
gini nih :
“Bu, misalkan ada orang, suukaaa banget sama kegiatan A.
Tapi dia kemampuannya biasa-biasa aja di pelajaran A. Ga jago. Dan pelajaran A
itu kalau dijadikan profesi juga agak susah kerjanya, ga bisa jadi profesi
tetap, misal”
“..terus dia sebenarnya berpotensi di bidang B, dan bila jadi
profesi B dia biasa aja, ga suka-suka banget. Gimana?”
“Pilih yang B, Nak..”
Kami manggut-manggut. PASSION itu penting, tapi ternyata
POTENSI juga penting. Ga bisa asal masuk fakultas yang kita mau dan suka aja. Segalanya
harus dipertimbangkan.
Setuju atau nggak setuju, boleh.. Tadi itu kan pendapat dari konselor kami,
yang lebih utama adalah dirimu.
Tanyai sendiri dirimu, Kamu akan memilih fakultas mana? Jangan lupa minta
pertolongan Allah hehe
Habis itu saya masih kepo nyariin fakultas yang ‘sesuai’. Haha.
Memilih dengan pikiran tenang dan yang paling penting, terhindar dari hawa
nafsu. Yeah kalau saya mengikuti nafsu
saya mesti bakal cepat memilih : “JURUSAN
AGEN-RAHASIA”. Yehee! ---Untung nggak
ada.
Jadi saya mulai nge-list apa-apa yang saya sukai;
Jalan-jalan,
diskusi sama orang, diskusi tentang hidup, dapet banyak info, alam, detektif,
FBI, CIA, SWAT, film-film action, mitologi yunani, simbol-simbol, bersepeda,
basket, menulis, menggambar, ngomong di depan orang banyak, petualangan, baca
novel-novel inspiratif, bahasa inggris,
bioteknologi, kimia, genetika, cerita-cerita, nyusun kata, teka teki, ngisi TTS,
..............
Itu kalo digabungin mau jadi apa coba--Fakultas apaa...... ?
HEEELP///////
OKE NEXT. Berikut adalah hasil TES CREDO saya, tipe
pekerjaan yang –katanya- cocok untuk saya hehe Taa-daaaaaaa !
Dan ini hasil tes credo, PROFESI YANG –katanya- COCOK UNTUK
SAYA
Uwooow, sumpah ngakak baca pilihan terakhirr wkwkwwk
Kenapa dengan dokter ?
Banyak yang ngira saya mesti pengen masuk kedokteran. Biologi
emang diidentikkan dengan kedokteran. Walaupun kebanyakan bio, kedokteran
ilmunya jelas ga cuma biologi. Ada fisika, kimianya juga. Banyak. Tambah lagi Anatomi.
Ngapalin nama-nama vena, arteri, otot, tulang, tulang yang sekecil upil pun ada
namanya. hehe keren ya, dokter.
Jangan langsung mengklaim saya ingin jadi dokter... ga semua anak biologi pengen masuk kedokteran
dan ada juga yang dulunya samasekali buan anak bio malah jadi dokter (contohnya
temennya kak Lo, dulunya dia anak olim math dan masuk kedokteran). :)
Teman-teman saya juga, banyak yang ingin jadi dokter. Dulu saya
ingat teman-teman saya yang memang bercita-cita jadi dokter dengan bangga dan
senang hati memakai atribut-atribut dokter, jas lab, stetoskop, dsb. Beda dengan
saya yang kadang malah sungkan kalau dikait-kaitkan dengan atribut
dokter,ehehee maaf. Mereka heboh ingin membaca buku-buku kedokteran yang
kebetulan saya punya. Pokoknya mereka semangat sekali wkwk :D dan saya sadar
meski saya usaha pun, saya tetap gabisa merasa se-excited mereka tiap kali lihat buku-buku kedokteran. :) Kesimpulan yang saya
dapatkan adalah, kemungkinan besar minat saya bukan di situ.
Jadi dokter itu penolong sesama, mengabdi, profesi yang
menjamin, pekerjaan mulia, keren lagi. Bahkan kayaknya mind-set para orang tua
itu pengen anaknya jadi DOKTER. Ga usah lahir kalau gamau jadi dokter. Uh-oh.
Segitunya kah?
Kakek saya juga pengen saya jadi dokter. Pengen aja—gapake banget.
Hehehe. Jadi dokter itu panggilan jiwa, dan saya merasa belum terpanggil. Menolong
orang lagipula ga harus jadi dokter, bisa apa aja, :)
Saya senang melihat orang
orang tersenyum, bahagia karena pertolongan saya, orang-orang sembuh dari
penyakitnya, tapi Kalau jadi dokter, mungkin saya bakal ga betah duduk di depan
meja setiap hari, memeriksa pasien, ngasih resep, ngasih obat, di Rumah sakit/
puskesmas. Rumah-sakit. Pus-kes-mas. Saya selalu ga betah ada di tempat-tempat
sejenis itu, entah. Mungkin karena suasananya. Mungkin karena emang jiwanya ga
disitu.
Belum.
Ke dokter
Karena masih belum yakin dengan psikolog, saya pun berdiskusi dengan salah satu dokter langganan saya. Dokter itu baik, sabar, ramah, dan juga berwawasan luas. Waktu itu saya sempat tanya alasan beliau menjadi dokter.
“Sebenarnya jadi dokter itu bukan cita-cita saya.. Jadi
saya, sampai sekarang belum bisa menjiwainya.”
Saya termenung. Menunggu. Bagi saya beliau termasuk dokter
yang top banget. Oke, baru saya tau ternyata beliau masih belum bisa menjiwai
pekerjaannya. Saya tambah penasaran.
“..dulu ketika semester 5 saya sempat berpikir untuk berhenti
kuliah kedokteran. Beda dengan teman-teman kuliah saya, saya malah enggan
memakai atribut atau apa-apa yang menunjukkan kalau saya itu mahasiswa
kedokteran ...” sambil tersenyum, dokter itu melanjutkan,
“Saya lebih suka diskusi tentang masalah kesehatan, berbagi
info kepada masyarakat, dan sukanya saya jadi dokter adalah.... Dokter bisa
mengenal kelas bawah sampai kelas atas dari masyarakat. Dokter itu ibaratnya; dimanapun
ada benda hidup,maka ia dapat bekerja.”
“ Saya mungkin masih belum bisa menjiwainya, tapi toh saya
menikmatinya.”
Saya mengangguk, tersenyum. Cerita dokter akan jadi
pertimbangan untuk saya. Terimakasih Dokter! :)
Komentar