Langsung ke konten utama

"Filosofi Teras"

 Oktoberku.

Diawali dengan aku yang marah karena suatu masalah. Yang setelah dipikir-pikir sekarang, hm ngapain aku marah ya..karena masalahnya kini keliatan sepele banget.

Tapi asli waktu itu aku ngerasanya bete parah.

Dan muka ini gabisa nutupin rasa bete itu ternyata, sampai-sampai ada orang nanya berkali-kali di hari itu, "Chusna, kamu sakit?"

Untungnya emang akar gigi aku lagi nekrosis, walaupun ga sakit-sakit banget, tapi aku jadi punya landasan buat bilang "Iya saya sakit gigi Pak makanya males ngomong, maaf ya"

Rasa marah karena ketidakadilan itu bikin aku ga nyaman kerja.

"Sabar, mungkin itu jadi sumber pahala gratis buat kamu" Kata ibuku

Hm, iya tapi kalau aku ujungnya ngomel-ngomel takutnya jadi sumber dosa ga sih.

Itu terjadi beberapa hari, sampai ada satu hari yang aku bener-bener berdoa, di tengah malam.

Ya Ghâlib dan Ya-Nashîr (Allâh Maha Menang dan Maha Penolong) itu kuulang-ulang sampai aku ketiduran lagi.

Besoknya aku plong. Ketidak adilan itu tetep terjadi tapi aku kayak ga ada perasaan amarah apapun. Aku happy2 aja, aku sapa orang-orang, seolah rasa marah dan beteku nguap gitu aja gatau kemana. Besoknya tiba-tiba ketidak adilan itu ilang. Oknum yang melakukan ketidak adilan berubah tanpa aku harus tegur. Dia yang biasanya berbuat A, hari itu berbuat 180 derajat, jadi lebih baik. Aku gatau gimana caranya. Aku gatau ada orang yang ngomong apa ke dia sampai dia begitu. Aku juga heran kenapa bisa gitu. Tapi yang aku tahu, disitu pertolongan Allah lagi turun padaku. Alhamdulillah.

Lalu  lanjut cerita kedua di bulan Oktober.

Sahabatku datang ke kantor. Kami cerita-cerita dari jam setengah 6 sore sampai lebih dari jam 8 malam di kantorku setelah 3 bulan ga ketemu. Dia cerita momen betapa dia ngerasa sangat ga mau kalau A itu kejadian di dia, tapi berujung dia mengalami A (divonis sakit sesuatu).

Waktu itu yang dia rasain adalah Allah ngga dengar doa-doa dia, Allah ga mau kabulin apa yang dia pengen, dia ngerasa Allah ninggalin dia (astagfirullahaladzim), dia sampai stress dan mengasihani dirinya sendiri karena Allah ga kabulin doanya. Beruntungnya dia punya orang-orang yang selalu mengingatkan dia buat ngga overthinking dan ikhlas menjalani takdir dari Allah. Awalnya buat dia itu terdengar non sense banget kayak "Apa sih, kalian bahkan ga ngerasain ada di posisi ini kaya gimana" kalimat "Semangat ya" seolah terdengar jadi ejekan buat dia. Too much information juga dari sosial media yang menimbulkan kepanikan yang berlebihan. Dia jadi push off semua yang mencoba mendekat ke dia sebagai bentuk rasa kecewanya.

Ternyata dia beneran divonis sama dokter, dan di saat itu, akhirnya dia mengambil titik "Oh yaudah ini jalanku, jalani aja" barulah kata dia, pertolongan Allah itu datang. Apakah kehidupannya jadi ga seidealis yang ia bayangkan? Ya, ujungnya iya. Dia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi bedanya kini ia ikhlas, jadi dia merasa Allah mudahkan semuanya. Ternyata yang selama ini kalau umumnya level sakitnya di orang-orang lain 100% ternyata di dia cuma 30%, gitu ibaratnya. Seolah ada pertolongan Allah yang ada di setiap rasa ikhlasnya. Ternyata dengan ia terkena musibah itu, malah jadi ada hal lain yang memudahkan dia di kemudian hari. Masya Allah. Wallahu alam, tapi menurutku ia berhasil melewati tantangan Allah buatnya buat naik ke tingkat level iman yang lebih tinggi, iman kepada qadr.

Lalu aku bercerita tentang kisahku padanya, dan dia bertanya padaku, apa yang masih membuatku belum ikhlas? Aku awalnya tidak ingin mengakuinya tapi sebenernya aku tau pasti apa yang membuatku belum ikhlas.

Di titik itu aku sadar, aku perlu mereset ulang keikhlasanku. Lalu lalang anak-anak kantor yang masih berseliweran di balik tembok belakang kami tak kami hiraukan. Kami berdua sama-sama menangis di sudut ruang itu. Sakit sekali saat ingat cobaan yang telah kami lewati, sakit saat ekspektasi kami tak terpenuhi, sakit sekali sangat orang salah mengerti dan melukai, sakit sekali kalau ingat itu semua, Ya Allah.

Ya Allah, kalau untuk membelah lautan dan menyelamatkan Nabi Musa saja Engkau mampu, mendinginkan api Nabi Ibrahim juga Engkau mampu, mengeluarkan hidup-hidup Nabi Yunus dari perut ikan juga Engkau mampu, masih pantaskah aku untuk ragu akan pertolonganMu?





Komentar